Kamis, 01 Mei 2008

Biografi Singkat al-Ghazâlî

Biografi Singkat al-Ghazâlî
Al-Ghazâlî adalah salah satu tokoh yang paling terkenal yang hidup pada tahun 450-505 H. bertepatan dengan 1058-1111 M. Lebih-lebih lagi di kalangan mereka yang mempelajari kitab-kitab yang ditulisnya seperti Ihyâ`u `Ulûm al-Dîn, Minhaj al-`Âbidîn, Bidâyat al-Hidâyah dan lain lain lagi. Nama lengkapnya ialah Muhamad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Ghazâlî al-Tûsî. Beliau lebih dikenal dengan panggilan al-Ghazâlî yaitu nisbah kepada kampung tempat kelahirannya yaitu Ghazalah yg terletak di pinggir bandar Tusi di dalam wilayah Khurasan, Parsi (Iran). Dengan itu al-Ghazâlî berarti orang Ghazalah, kemungkinan juga panggilan tersebut dinisbahkan kepada bapanya seorang tukang tenun kain bulu yang dalam bahasa arabnya dikatakan al-ghazzâl. Al-Ghazâlî juga digelar Abû Hamîd, dinisbahkan kepada anaknya. Beliau juga digelar hujjat al-islâm yaitu suatu gelaran penghormatan yang diberikan kepadanya kerana kejituan dan kecerdasannya di dalam membela agama Islam.
ETIKA AL-GHAZALI
Perdebatan teologi juga berimplikasi pada perdebatan tentang etika dalam Islam. Sebagian besar kontroversi bidang etika dalam filsafat Islam adalah bersumber dari perdebatan-perdebatan teologi yang paling pokok. Perdebatan antara kelompok Asy’ariyah dan Mu’tazilah adalah salah satu contoh yang pernah menghiasi sejarah pemikiran Islam.
Menurut kalangan Asy’ariyah, makna etika murni bersifat subyektif, bisa mempunyai makna apabila ada subyek (Allah). Satu-satunya tujuan bertindak moral adalah untuk mematuhi Allah. Bagi mereka, makna moralitas hanya bisa dipahami apabila mampu bertindak selaras dengan kehendak dan perintah Allah. Sedangkan kalangan Mu’tazilah berpendapat bahwa semua perintah Allah benar adanya, dan sifat benarnya terpisah dari perintah Allah. Dia memerintahkan kita untuk melakukan sesuatu yang benar lantaran memang benar adanya, berdasarkan landasan-landasan obyektif, bukan pada perintah Allah. Allah tidak dapat menunut kita untuk melakukan sesuatu yang benar karena aturan-aturan moralitas bukanlah ha-hal yang berada di bawah kendali-Nya.

Perdebatan dua madzhab tersebut masih berlanjut hingga kini. Kalangan Asy’ariyah memandang moralitas berada di bawah kontrol Tuhan, atau dengan pengertian lain moralitas itu mengandaikan agama. Akantetapi, kalangan Mu’tazilah berpandangan sebaliknya. Mereka memandang moralitas adalah sebuah tindakan rasional manusia dalam melihat mana yang baik dan mana yang buruk, tidak semata ditentukan oleh tuntutan agama.
Salah satu tokoh Asy’ariyah yang banyak mengembangkan teori etika di dunia Islam adalah al-Ghazali. Beliau menghubungkan wahyu dengan tindakan moral. Al-Ghazali menyarankan kepada kita untuk memandang kebahagiaan sebagai pemberian anugerah Tuhan. Al-Ghazali menganggap keutamaan-keutamaan dengan pertolongan Tuhan adalah sebuah keniscayaan dalam keutamaan jiwa. Jadi, dengan menerapkan istilah keutamaan kepada pertolongan Tuhan, Al-Ghazali bermaksud menghubungkan keutamaan dengan Tuhan. Tidak ada keutamaan lain yang dapat dicapai tanpa pertolongan Tuhan. Bahkan, al-Ghazali menegaskan bahwa tanpa pertolongan Tuhan, usaha manusia sendiri dalam mencari keutamaan sia-sia, dan dapat membawa kepada sesuatu yang salah dan dosa.
Rupanya, al-Ghazali ingin menyamakan pengertian etika atau moralitas sama halnya dalam teologi Islam. Menurut Amin Abdullah, al-Ghazali jatuh pada “reduksionisme teologis”. Artinya, al-Ghazali menempatkan wahyu al-Qur’an menjadi petunjuk utama --atau bahkan satu-satunya-- dalam tindakan etis, dan dengan keras menghindari intervensi rasio dalam merumuskan prinsip-prinsip dasar universal tentang petunjuk ajaran al-Qur’an bagi kehidupan manusia. Titik perbedaan antara filsafat etika al-Ghazali dan Kant terletak pada penggunaan rasionalitas. Al-Ghazali menyusun teori etika mistik, sedang Kant membangun sistem etika rasional yang teliti untuk menggantikan doktrin metafisika-dogmatik-spekulatif.
Menurut al-Ghazâlî akhlak adalah keadaan batin yang menjadi sumber lahirnya suatu perbuatan di mana perbuatan itu lahir secara spontan, mudah, tanpa menghitung untung rugi. Orang yang berakhlak baik, ketika menjumpai orang lain yang perlu ditolong maka ia secara spontan menolongnya tanpa sempat memikirkan resiko. Demikian juga orang yang berakhlak buruk secara spontan melakukan kejahatan begitu peluang terbuka.
Etika atau akhlak menurut pandangan al-Ghazali bukanlah pengetahuan (ma’rifah) tentang baik dan jahat atau kemauan (qudrah) untuk baik dan buruk, bukan pula pengamalan (fi’il) yang baik dan jelek, melainkan suatu keadaan jiwa yang mantap. Al-Ghazali berpendapat sama dengan Ibn Miskawaih bahwa penyelidikan etika harus dimulai dengan pengetahuan tentang jiwa, kekuatan-kekuatan dan sifat-sifatnya. Tentang klasifikasi jiwa manusia pun al-Ghazali membaginya ke dalam tiga; daya nafsu, daya berani, dan daya berfikir, sama dengan Ibn Miskawaih. Menurut al-Ghazali watak manusia pada dasarnya ada dalam keadaan seimbang dan yang memperburuk itu adalah lingkungan dan pendidikan. Kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan itu tercantum dalam syariah dan pengetahuan akhlak. Tentang teori Jalan Tengah Ibn Miskawaih, al-Ghazali menyamakannya dengan konsep Jalan Lurus (al-Shirât al-Mustaqîm) yang disebut dalam al-Qur’an dan dinyatakan lebih halus dari pada sehelai rambut dan lebih tajan dari pada mata pisau. Untuk mencapai ini manusia harus memohon petunjuk Allah karena tanpa petunjuk-Nya tak seorang pun yang mampu melawan keburukan dan kejahatan dalam hidup ini. Kesempurnaan jalan tengan dapat di raih melalui penggabungan akal dan wahyu.
PENUTUP
Akhir dari tulisan ini, dapat disimpulkan bahwa etika sosial Islam memiliki peran yang sangat besar bagi perbaikan atas kehidupan umat manusia. Etika sosial Islam mempunyai dua ciri yang sangat mendasar, yaitu keadilan dan kebebasan. Dua ciri ini penting untuk menggerakkan Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Perbuatan kita mesti diorientasikan pada tindakan-tindakan yang mengarah pada keadilan dan juga memandang kebebasan mutlak setiap individu. Karena, kebebasan individu ini berimplikasi pada tindakan sosial dan syariat kolektif.
Sudah semestinya, etika Islam tidak hanya dimaknai sebagai etika individual saja, tapi juga perlu dipahami sebagai ajaran sosial. Kehidupan umat manusia perlu dibangun dengan perspektif agama yang lebih memperdulikan pada persoalan-persoalan kemanusiaan dan keadilan. Jadi, Islam tidak semata diartikan sebagai ritualisasi ibadah dan etika individual semata, tapi juga sebagai agama yang penting untuk memperbaiki kehidupan sosial secara lebih luas.

PENENTUAN HARGA ASSET PERUSAHAAN

PENENTUAN HARGA ASSET PERUSAHAAN

A. Pendahuluan
Dalam sebuah aktivitas bisnis pasti ada harta benda, harta kekayaan baik itu berupa uang tunai maupun bukan adalah bagian integral dari transaksi bisnis. Kevitalan harta kekayaan dalam bisnis adalah sesuatu yang menjadi fakta dalam dirinya sendiri (self – evident)
Dengan adanya asset tersebut suatu bisnis dapat berjalan lancar, dan tentunya mempunyai tujuan utama yaitu mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Asset riil itu sendiri menghasikan barabg dan jasa, sedangkan asset keuangan menjelaskan alokasi laba atau kekayaan kepada investor.
Keuntungan perusahaan sangat tergantung pada nilai assetnya. Bahwa tanpa adanya tambahan modal dari pemilik, aset perusahaan memiliki nilai yang lebih tinggi pada akhir periode dibandingkan pada awal periode, hal ini akan menghasilkan keuntungan sehingga dapat menambah nilai aset. Akan tetapi, penilaian aset saat ini menghadapi beberapa masalah, terutama penilaian intangibel asset, fixed asset dan sejenisnya.

B. Beberapa model penentuan harga asset perusahaan
1. Discounted cash flow
Didasarkan pada konsep bahwa nilai asset adalah tergantung pada kemampuannya menghasilakan cash-flow masa depan (future cash flow). Akan tetapi, ketika masa depan adalah panjang, maka didalamnya mengandung ketidakpastian dan pertambahan resiko, hal ini adalah penting untuk mengestimasi present value dari stream of cash flow masa depan.
Discount factor pada kondisi yang pasti biasanya menggunakan tingkat bunga tetap yang diasumsikan sama dengan opportunity cost modal yang tertahan dalam asset. Vareabel tingkat bunga dapat juga ditetapkan berbeda untuk setiap tahun. Walaupun diketahui bahwa masa depan adalah tidak tentu, tetapi niali cash-flow yang diharapkan pada masa yang akan datang ditunjukan dengan nilai probabilitas yang dipastikan, probabilitas ini ditentukan dengan sangat subyektif dalam situasi yang tidak tentu.
Teknik disconted cash flow didasarkan pada konsep time value of money. Kosep ini menyatakan bahwa utilitas uang saat ini lebih tinggi dibandingkan dengan utilitasnya untuk uang yang sama pada waktu yang akan datang. Konsep ini sangat populer menjustifikasi bunga atas modal yang dipinjam.
Konsep nilai waktu uang beranggapan bahwa "perusahaan mampu melakukan ekspansi yang tak terbatas pada masa yang akan datang tanpa invalidating model. Metode yang hanya menerapkan faktor waktu dan aliran kas yang diharapkann maka semua faktor ekonomi, teknologi, politik dan sosial lainnya adalah diabaikan.
Inilah salah satu kesulitan-kesulitan praktis dalam menggunakan metode ini. Metode discount cash flow adalah didasarkan pada konsep nilai waktu uang, yang seringkali digunakan sebagai legitimasi bunga. Konsep ini memiliki kesulitan rasional dan juga melanggar syari'ah yang melarang adanya bunga.
2. Current cash equevalent
Syariah islam memberikan dukungan terhadap sistem penilaian yang baik untuk semua tujuan atau pihak, apakah pihak pemegang saham, pemerintah, investor maupun masyarakat umum. Konsep ini menerima dasar yang sama dalam menilai asset dengan dasar perhitungan zakat. Untuk menghitung zakat atas asset (kekayaan), disetujui dengan menggunakan dasar net realizable value.
Metode current cash equevalent menyatakan bahwa asset perusahaan akan dievaluasi menurut setara kas, berdasrkan likuiditas dan kondisi kuota harga pasar untuk barang yang tidak dijual.
Akan tetapi metode ini memiliki satu keterbatasan yang serius, yaitu metode ini mengeluarkan asset yang tidak memiliki nilai pasar, aset yang tidak berwujud atau sarana khusus yang tidak dijual.
Jika mengadopsi metode penilaian current cash equevalent atas asset, penentuan keuntungan menjadi simple dan obyektif. Laba atau rugi dalam kerangka ini berarti suatu tambahan atau pengurangan dalam current cash equevalent atas asset pada akhir periode akuntansi.

C. Kesimpulan
Metode ini pula yang menjaga pertentangan dalam akuntansi konvensional dalam memaknai nilai asset bersih, yaitu; apakah pertambahannya harus diukur dalam terma keuangan atau kapasitas produksi fisik.
Daya beli yang bisa saja terjadi penjualan asset ketika dalam masa likuidasi yang harganya mungkin dipengaruhi harga pasar, dimana harga pasar itu disesuaikan dengan jelas dan keadaanya.

D. Daftar Pustaka
Ahmad, Dr. Mustaq, Etika Bisnis dalam Islam, jakarta: al-kautsar, 2006.
Muhammad, Pengantar Akuntansi syariah, Jakarta: salemba empat, 2002
Muhammad,Dr. Teori Penilaian dalam akuntansi Syariah, (STEI Yogyakarta)

SEKULARISASI DAN MASA DEPAN AGAMA

SEKULARISASI DAN MASA DEPAN AGAMA

A. Pengertian Sekularisasi
Sekularisasi diartikan sebagai pemisah antara urusan negara (politik) dan urusan agama, atau pemisah antara urusan duniawi dan ukhrawi.
Jadi sekularisasi adalah pembebas manusia dari agama dan metafisik artinya bahwa terlepasnya dunia dari pengertian-pengertian religius yang suci, dari pandangan dunia semu, atau dari semua mitos supra-natural.
Sekularisasi tidak hanya melingkupi aspek-aspek kehidupan sosial dan politik saja, tetapi juga telah merambah ke aspek kultur, karena proses tersebut menunjukkan lenyapnya penentuan simbol-simbol integrasi kultural.

B. Latar Belakang Timbulnya Sekularisasi
Suatu masyarakat adalah produk aktivitas manusia secara kolektif, dan merupakan realitas yang tidak statis, selalu berubah selaras dengan alam pikiran. Begitu pula aktivitas manusia secara individu merupakan fenomena yang dapat berpengaruh pada kolektivitasnya, bahkan secara realitas dapat memainkan peranan mengubah dunia. Artinya dalam hal ini manusia selalu dihadapkan pada konfrontasi terhadap realitas dan ia ingin selalu memperbiaki diri dan lingkungannya. Apalagi jika manusia telah dihadapkan pada kondisi yang membatasi ruang gerak aktivitas maupun kebebasan berpikirnya, maka akan muncul reaksi yang merupakan manifestasi dari akumulasi potensi untuk kemudian mendobrak apa yang telah mengekangnya.
Tak ubahnya dengan apa yang telah terjadi pada masyarakat Kristen Barat. Munculnya gerakan Protestantisme tidak lain merupakan reaksi terhadap kendali religius saat itu, yakni Dominasi Gereja Katolik yang telah mengekangnya. Perspektif semacam ini dimaksudkan untuk menyentuh sebuah potret pada masyarakat Kristen Barat, karena gambaran situasi religius itulah yang merupakan latar belakang yang telah meletakkan dasar bagi timbulnya sekularisasi.
Salah seorang filsuf Kristen, Jogues Maritain telah menguraikan tentang bagaimana dunia Kristen dan dunia Barat melewati krisis gawat sebagai akibat peristiwa masa kini, yang diiringi oleh kebangkitan nalar dan empirisme serta kemajuan ilmu dan teknologi. Krisis semacam itulah yang dikatakan sebagai sekularisasi.

C. Masa Depan Agama
Sebelum penjelasan masa depan agama ke hal yang lebih jauh kita jelaskan terlebih dahulu periodesasi sekuler. Periode sekulasisasi terbagi ke dalam 2 macam yaitu:
1. Periode pertama
Peride sekularisasi moderat, yaitu antara abad ke-17 dan ke-18. Pada periode sekularisme moderat, agama dianggap sebagai masalah individu yang tidak ada hubunganya dengan negara, tetapi meskipun demikian negara masih berkewajiban memelihara gereja, khususnya bidang upeti atau pajak. Dalam pengertian ini, dalam pemisahan antara negara dan gereja, tidak dirampas agama Masehi sebagai agama sekaligus dengan nilai-nilai yang dimilikinya, meskipun ada sebagian ajarannya ada yang diingkari, dan menuntut menundukkan ajaran-ajaran Masehi kepada akal, prinsip-prinsip alam, dan perkembanganya.
2. Periode kedua
Periode sekularisme ektrem berkembang abad 19 jika pada periode sekularisme moderat, agama masih diberi tempat dalam suatu negara, maka pada periode ekstrem, agama tidak hanya menjadi urusan pribadi, akan tetapi negara justru memusuhi agama. Begitu pula negara memusuhi orang-orang yang beragama. Peiode kedua ini, atau periode sekularisme ekstrem pada abad 19 dan 20 merupakan periode materialisme atau disebut sebagai revolusi sekuler.
Dari dua periode tersebut agama bukan lagi hal yang sangat penting dan sedikit diabaikan oleh mereka.

D. Hubungan Sekularisme Masa Depan Agama
Sekularisasi dalam hal ini mendudukkan agama sebagai aspek sentral dalam membicarakan dan memerikan penilaian terhadap konsep-konsep tentang sekularisasi, serta agama sebagai kacamata untuk melihat proses atau fenomena sekularisasi tersebut.

KESIMPULAN
Bahwa sekuler bagi masa depan agama sebagai motivasi bagi asas dasar pemikiran alasannya bahwa:
1. Seperangkat alasan-alasan yang menjelaskan tingkah laku manusia.
2. Seseorang akan melakukan sesuatu apabila ada persamaan dengan yang lain, dan alasan-alasan yang lain telah dibatasi.

DAFTAR PUSTAKA

Pardoyo, Sekularisasi Dalam Polemik, Penerbit, PT. Pustaka Utama Grafiti, 1993.

Robert Audi, Agama dan Nalar Sekuler, Penerbit: PT. UII Press Yogyakarta, 2002.

Andrew M. Greeley, Agama suatu Teori Sekuler, Penerbit: PT. Erlangga, 1988.

MEMBENTUK KEPRIBADIAN MELALUI INTERAKSI SOSIAL

MEMBENTUK KEPRIBADIAN MELALUI INTERAKSI SOSIAL


Apa yang didapatkan dari lingkungan sosialnya menjadi modal utama bagi pembentukan kepribadiannya kelak. Dalam hal ini, bagaimana pengaaruh lingkungan keluarga, masyarakt dan kebudayaan?


Telah menjadi rahasia umum bahwa manusia adalah mahluk yang unik. Munculnya anggapan seperti itu karena berdasarkan suatu realita, bahwa tidak ada manusia yang memiliki kepribadian yang sama. Sehingga hal itulah yang kadang-kadang menimbulkan kesulitanuntuk mengerti kepribadian seseorang. Namun jika ditelusuri lebih jauh bagaimana sesungguhnya pembentukan kepribadian seseorang, maka hal itu bukanlah merupakan sesuatu yang aneh.
Pembentukan kepribadian seseorang merupakan hasil perpaduan dari berbagai faktor yang saling terkait satu dengan yang lainnya, dengan berbagai proses pendukungnya. Salah satu faktor yang memegang peranan penting di dalam hal ini adalah interaksi sosial. Karena pada dasarnya manusia selama hidupnya mengalami interaksi sosial, yang memungkinkan manusia yang bersangkutan berkembang. Lalu apakah sesungguhnya yang diseut dengan interaksi sosial.
W.A. Gerungan merumuskannya sebagai suatu hubungan antara dua atau lebih individu. Dimana pribadi individu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki prilaku individu yang laian, atau sebaliknya. (W.A. Gerungan, Psikolgi Sosial, 1978). Dengan pengertian tersebut, akan memudahkan kita untuk memahami pembahasannya lebih lanjut.
Jika ditelusuri sejarah kehidupan seseorang, akan semakin nyatalah peranan interaksi sosial di dalam rangkan pembentukan kepribadiannya. Sifat-sifat kemanusiaan manusiapun terbentuk melalui interaksi sosial. Karena di dalamnya terkandung unsur-unsur manusiawi dengan lingkungan manusiawi. Proses berlangsung kait-mengait, dengan tahapan-tahapan sistematis.
Prosesnya bermula dari lingkungan keluarga, yang berlanjut di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan maupun di dalam lingkungan pergaulan yang lebih luas. Untuk memperjelas bagaimana sesungguhnya kepribadian individu, akan dijelaskan secara terperincibagaimana proses berlangsungnya.
1. Interaksi Sosial di dalam Keluarga
Keluarga merupakan basis pertama dan utama dalam berbagai rangkaian proses inteaksi sosial yang dialami individu selama hidupnya. Hal tersebut dimungkinkan, karena kedudukan keluarga sebagai komponen terkecil dari struktur masyarakat, merupakan tempat pertama bagi individu mengenal manusia lain diluar dirinya. Di samping itu juga di dalam keluargalah anak mulai mengenal peranan dirinya sebagai manusia.
Proses terjadinya interaksi sosial di dalam lingkungan keluarga dimulai sejak kelahiran. Saat anak mulai merasakan dunia lain dari dunia kandungan yang selama ini dikenalnya sebelum kelahiran. Sedangkan kelahiran itu sendiri merupakan prasyarat bagi seseorang untuk berkembang dan memiliki kepribadian sendiri.
Pada tahapan pertama, apa yang diberikan oleh keluarga merupakan potensi-potensi atau kemungkinan-kemungkinan untuk berkembang. Pada perkembangan lebih lanjut hal tersebut menadapatkan rangsangan dan pengarahan dari lingkungan keluarganya sehingga lebih berkembang.
Agar perkembangan yang dicapai dapat berjalan dengan normal dan ideal, peranan keluarga sebagai suatu lingkungan keluarga yang menyediakan segala sarana yang memungkinkan terjadinya perkembangan sangat menentukan.
Peranan keluarga yang dimaksud dalam hal ini, tidak hanya menyangkut pemenuhan segala kebutuhan anak yang berwujud materi, tetapi juga menyangkut pemenuhan kebutuhan psikologis dan sosiaologis. Bahkan dua kebutuhan tersebut seharusnya mendapatkan porsi yang lebih besar. Karena mengingat pengaruhnya yang cukup besar pada perkembangan selanjutnya yang dialami anak pada masa-masa mendatang.
Kebutuhan-kebutuhan psikologis dan sosiologis anak meliputi penghayatan-penghayatan rohani psikis dan sosial yang dialami anak sebagai suasana, sikap pergaulan, antara manusia yang mengikat anak didalam keluarganya, yang kemudian menjadi dasar untuk pergaulannya dengan masyarakat sosial yang lebih luas. Wujud yang nyata dari hal itu dibnerikan dalam bentuk kasih sayang yang memberi anak rasa nyaman., rasa diterima serta rasa diakui keberadaanya. Dengan demikian interakasi sosial yang pertama kali dirasakan anak adalah perlakuan dan kasih sayang dari kedua orang tuanya, terutama dari ibunya. Pada saat anak sepenuhnya tergantung dari kedua orang tuanya untuk memenuhi segala kebutuhannya, baik yang berupa fisik ataupun psikis.
Dengan semakin bertambahnya usia anak yang diikuti oleh berfungsinya organ-organ tertentu dari tubuhnya, nteraksi sosial yang dialami anak semakin berkembang. Anak sudah dapat melakukan komunikasi dengan orangtuanya, meskipun masih dalam bentuk-bentuk yang sangat sederhana dan bersifat simbolik. Jawaban-jawaban yang diberikan yang diberikan orang tuanya sebagai pengertian terhadap komunikasi simbolik anak, akan dirasakan sebagai suatu interaksi sosial, sehingga dengan jawaban-jawaban tersebut anak akan menentukan sikap yang dianggap sesuai dengan jawaban orang tuanya.
Dengan berfungsinya organ-organ bicara pada anak, komunikasi dengan orang tuanya berkembang dengan penggunaan bahasa, sehingga interaksi sosialpun semakin menampakkan bentuk yang nyata. Anak telah mampu mengungkapkan perasaan yang sebenarnya kepada orangtuanya dan sebaliknya orang tuapun dapat mengerti secara benar perasaan anak. Dalam situasi yang demikian kemungkinan terjadinya hubungan saling pengaruh mempengaruhi antara orang tua dan anak sangat besar.
Setelah anak mampu menggunakan kognisinya yang didukung dengan berfungsinya secara sempurna keseluruhan inderanya, anak mulai mengerti wujud yang sebenarnya dari pola-pola interaksi sosial yang berlaku didalam keluarganya.
Pengertian anak didalam hal ini, terutama didasarkan paa pengalaman-pengalamannya dengan kedua orang tuanya. Karena itulah keharmonisan hubungan antara suami dan istri sangat diperlukan, sehingga hala itu memberikan suatu gambaran yang baik kepada anak. Keduanya harus mempunyai keseragaman didalam cara dan tekhnik-tekhnik melaksanakan hubungan dengan anak. Hal itu didasarkan pada suatu kenyataan bahwa untuk perkembangan kepribadiannya, anak memerlukan kedua orangtuanya sebagai pembimbing, pendidik serta sebagai pengayon.
Sdalah satu faktor yang menentukan terjadinya interaksi sosial adalah faktor identiikasi, khususnya didalam rangka pembentukan ego dan superego anak. Timbulnya identifikasi tersebut didasarkan pada suatu rasa kagum anak terhadap perbuatan orang tuanya bahkan menyamainya. Disamping itu juga timbulnya identifikasi disebabkan usaha anak untuk menghindari hukuman-hukuman yang mungkin diberikan oleh orang tuanya, sehingga anak berusaha mempersatukan dirinya dengan larangan-larangan yang ditentukan oleh orang tuanya. Dengan demikian identifikasi dapat dijadikan alasan mengapa anak-anak cenderung menyerupai orang tua mereka.
Jika keluarga dianggap sebagai suatu lingkungan, masyarakat yang kecil, maka peranannya di dalam rangka pembentukan ego sangat menentukan. Jika mengingat bahwa ego merupakan hasil dari tindakan saling mempengaruhi antara lingkungan dengan garis-garis perkembangan yang ditetapkan oleh keturunan. Begitupun di dalam rangka pembentukan superego anak, keluarga memegang peranan yang menentukan. Bahkan dalam dalam rangkan pembentukan superego inilah keluarga sangat menonjol.
Superego merupakan kode moral seseorang yang berkembang dari ego, sebagai akibat perpaduan yang dialami anak dengan ukuran orang tuanya mengenai apa yang baikl, apa yang salah, serta apa yang buruk. Dengan memperpadukan kewibawaan tersebut dengan kewibawaan moril orang tuanya, anak akan mengganti kewibawaan tersebut dengan kewibawaannya sendiri. Dengan menuangkan kekuasaan orang tuanya ke dalam batinnya sendiri, anak akan dapat menguasai kelakuannya sesuai dengan keinginan orangtuanya, dan dengan bertindak seperti itu anak akan mendapatkan persetujuan dan mencegah kegusaran mereka.
Atau dengan kata lain, anak akan belajar bahwa ia bukan saja harus tunduk kepada prinsip kenyataan untuk mendapatkan kesenangan, tetapi ia juga harus mencoba berkelakuan sesuai dengan perintah-perintah moril dari kedua orangtuanya.
2. Interaksi Sosial di dalam Lingkungan Kemasyarakatan
Apa yang didapatkan anak dari lingkungan keluarganya sebagai dasar-dasar untuk menjalani interaksi sosial yang lebih kompleks di dalam lingkungan masyarakatnya.
Dengan semakin banyaknya manusia yang dikenal anak, menyebabkan pergaulan anak semakin meluas. Akibatnya apa yang diberikan oleh keluarganya sebagai dasar tersebut juga akan lebih berkembang, sehingga hal itu akan lebih menyempurnakan interaksi sosialnya.
Anak akan lebih banyak belajar untuk menyesuaikan diri dengan keragaman prilaku yang ditemuinya didalam lingkungan masyarakatnya. Dimana dari penyesuaian diri tersebut, anak mendaptkan pengalaman-pengalaman baru yang menjadi masukan-masukan yang sanagt berharga bagi anak untuk pengemangan kepribadian lebih lanjut. Pengalaman-pengalaman tersebut menjadi dorongan bagi anak untuk lebih mengaktifkan diri menjalani interaksi sosialnya. Akhirnya pengalaman-pengalaman tersebut berubah menjadi simbol-simbolyang memiliki nilai tersendiri bagi anak.
Salah satu faktor yang memegang peranan penting dalam interaksi sosial did alam lingkungan sosial kemasyarakatan ini adalah lembaga-lembaga sosial tersebut berperan sebagai suatu respon kulturil dari kebutuhan dasar biologis dan psikologis manusia untuk hidup berkelompok. Juga sekaligus erfungsi sebagai alat untuk mengembangkandiri dan alat yang memberikan batas-batas tertentu, agar segala jenis hubungan antar manusia dipelihara dalam keadaan equilibirium yang dinamis.
Disamping itu juga faktor waktu memegang peranan menentukan. Lamanya individu menjalani inteaksi sosialnya, memberikan kesempatan kepada individu untuk bekerjasama dan menemukan pola-pola tingkah laku dan sikap yang bersifat timbal balik, serta menemukan teknik-teknik hidup bersama yang lebih baik.
Akibat lebih lanjut terbentuklah integrasi psikologik dan sosiologik di dalam masarakat yang menyebabkan pola, sikap, relasi serta reaksi emosi dari anggota masyarakat cenderung memiliki kesamaan.
Kenampakan dari integrasi tersebut akan terlihat sebagai kesamaan-kesamaan kepribadian ari segenap individu yang hidup di dalam lingkungan sosial kemasyarakatan tertentu.

3. Pengaruh Kebudayaan Terhadap Interaksi Sosial
Proses terjadinya interaksi sosial, baik didalam lingkungan keluarga maupun di dalam lingkungan sosial kemasyarakatan yang lebih luas, tidak dapat dilepaskan dari pola kebudayaan yang berlaku didalam masyarakat tersebut. Karena lingkungan sosial dan kulturil menetapkan syarat-syarat bagi individu dalam menetapkan bentuk pemuasan kebutuhan yang mungkin dipilih oleh indiidu, termasuk didalamnya interaksi sosial.
Hal tersebut sangat mempengaruhi mekanisme kerja dari ego sebagai pembuat keputusan. Ego berkewajiban menetapkan bentuk tingkah laku penyesuaian sebaik-baiknya dan sesuai dengan pola-pola kebudayaan yang berlaku, sehingga apa yang diputuskan sebagai pemuasan kebutuhan akan baik baginya dan juga bagi lingkungan masyarakatnya yang lebih luas. Atau dengan perkataan lain, kebudayaan mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, serta menentukan sikap jika berhubungan dengan orang lain. Karena keduanya sebenarnya merupakan perwujudan atau abstraksi dari pada prilaku manusia dengan kepibadia sebagai latar belakangnya.
Demikianlah dengan mengerti bagaimana proses serta pengauh yang nyata dari interaksi sosial terhadap pembentukan kepribadian seseorang, diharapkan kita dapat mengerti kepriadian individu secara tepat dengan segala keunikannya. Sehingga dengan demikian diharapkan kita dapat menentukan sikap yang sesuai dengan kepribadian seseorang. Hal mana akan menentukan keberhasilan kita didalam berkomunikasi dengan individu lain sesama.